Berpuluh tahun berlalu, pakcik siluet bertarung hampir 45 tahun mencari identiti dirinya yang sebenar. Ia bukan perjuangan biasa, tetapi perjalanan jiwa yang panjang dan penuh liku. Kita tahu siapa Pencipta-Nya, tahu dari mana asalnya, tahu dari mana kelahirannya. Namun persoalan yang lebih dalam—untuk apa kejadiannya, ke mana arah hidupnya, apakah rezekinya, siapakah jodohnya—semuanya tetap menjadi rahsia yang hanya Allah Rabbuljalil tahu. Dalam diam, pakcik siluet terus melangkah, mengarah bukan pentas lakonan, tetapi pentas kehidupan yang sebenar, dengan harapan agar setiap babak yang dilalui mendekatkan dirinya kepada makna sebenar sebuah kewujudan.


Ayahnya pakcik siluet pergi meninggalkan dunia ketika dia baru berumur empat tahun, terlalu mentah dan terlalu putih untuk benar-benar mengenal erti seorang ayah dalam kehidupannya. Rasa kasih seorang bapa tidak pernah sempat dirasai, hanya menjadi bayangan yang kosong dalam ingatan. Sejak itu, seorang ibu yang tabah bersama tiga orang kakak menjadi adunan kehidupan hari-harinya. Dari mereka datang kasih sayang, didikan, dan sokongan yang membentuk dirinya, walaupun tanpa figura ayah di sisi. Kehilangan itu menjadi titik awal perjalanan panjang, menjadikan pakcik siluet lebih kuat, lebih sabar, dan lebih menghargai setiap detik bersama keluarga yang masih ada.

Kesan kehilangan itu terasa benar ketika pakcik siluet meningkat remaja. Di saat kawan-kawan lain punya tempat bermanja, tempat mengadu dan merujuk untuk mengenal selok-belok kehidupan keluarga, dirinya hanya bertemankan teladan dan pemerhatian. Setiap perhitungan rasa dan minda dijadikan panduan, memadan kehidupan orang lain sebagai acuan untuk menggerakkan keluarga sendiri. Dari situ lahir daya tahan, kebijaksanaan, dan kecekalan hati—membentuk karekter yang sabar, tenang, dan terbuka dalam menghadapi dunia tanpa sokongan seorang ayah, tetapi dengan kekuatan pengalaman dan pengamatan yang mendidik jiwa.